Kehidupan budaya di Jerman mempunyai banyak segi. Terdapat sekitar 300 teater tetap dan 130 orkes profesional antara Flensburg di utara dan Garmisch di se latan. 630 museum seni rupa dengan koleksi serbaneka yang bertaraf tinggi menurut ukuran internasional membentuk jaringan museum yang unik. Seni lukis muda juga sangat hidup di Jerman dan telah mendapat tempat di dunia internasional. Dengan sekitar 94.000 judul buku baru yang diterbitkan atau dicetak ulang tiap tahun, Jerman juga tergolong negara perbukuan yang besar. 350 judul surat kabar harian dan ribuan judul majalah membuktikan perkembangan dunia media yang baik. Sukses baru juga tercatat oleh produksi film – tidak hanya di bioskop Jerman, melainkan di berbagai negara di dunia.
Bahasa Jerman tergolong ke-15 bahasa Germanika, suatu rumpun dalam kelompok bahasa Indogermanika. Bahasa Jerman merupakan bahasa ibu yang paling banyak penuturnya dalam Uni Eropa (UE) dan termasuk kesepuluh bahasa yang paling banyak dipakai di dunia: Sekitar 120 juta orang memakainya sebagai bahasa ibu. Sesudah bahasa Inggris, bahasa Jerman menempati posisi kedua sebagai bahasa asing di Eropa. Dewasa ini terdapat kurang lebih 17 juta orang di segala penjuru dunia yang belajar bahasa Jerman di institusi atau di sekolah. Kementerian Luar Negeri mendukung pengajaran bahasa Jerman di mancanegara, yang diserahkan kepada organisasi perantara: Goethe-Institut menawarkan kursus bahasa Jerman di 127 kota di 80 negara. Atas tugas Deutscher Akademischer Austausch dienst (DAAD) ditempatkan 440 dosen pada perguruan tinggi di 102 negara. Badan pusat untuk perguruan di luar negeri (ZfA) mengurus 135 Sekolah Jerman dan sekitar 1.900 guru Jerman yang mengajar di mancanegara. Usaha untuk memantapkan kedudukan bahasa Jerman sebagai bahasa asing di luar negeri dilancarkan oleh Kementerian Luar Negeri melalui proyek “Sekolah: Mitra Masa Depan” (PASCH). Tujuannya menciptakan jaringan yang terdiri dari 1.500 sekolah mitra.
Negara
pujangga dan pemikir. Goethe orang Jerman, begitu pula Bach dan
Beethoven. Walau begitu tidak tampak adanya kompetensi kultural pada
Jerman sebagai nasion berbudaya. Kebudayaan adalah urusan negara bagian,
begitulah ketetapan dalam konstitusi. Mengapa urusan kebudayaan di
Jerman merupakan hal yang tidak dapat atau tidak perlu ditangani oleh
seluruh bangsa? Sejak era Kaisar Wilhelm pada akhir abad ke-19,
kebudayaan Jerman sebagai ungkapan nasion Jerman sudah dicurigai sebagai
keangkuhan. Musibah nasionalsosialisme kemudian mencetuskan orientasi
baru yang dilaksanakan secara konsekuen. Seusai Perang Dunia II, orang
menyadari bahwa Jerman hanya dapat kembali ke komunitas bangsa sedunia
apabila dihindarinya kesan adanya semangat budaya nasional yang
berlebihan. Dengan mempertimbangkan hal itu juga, pada saat pendirian
Republik Federal Jerman tahun 1949 orang mengingat tradisi federalistis
dan menyerahkan kewenangan budaya kepada negara bagian. Baru sejak tahun
1999 terdapat menteri negara kebudayaan dan media pada Kekanseliran
Federal. Sejak waktu itu ada satu dan lain urusan budaya yang kembali
diang gap sebagai hal yang menyangkut seluruh bangsa. Bantuan untuk perfilman diatur kembali pada tingkat federal, Yayasan Budaya Federal pun
didirikan. Berlin kian berkembang menjadi magnet bagi kelas kreatif dan
tempat bercampur-baurnya aneka kebudayaan. Museum-museumnya
mencerminkan seluruh sejarah umat manusia. Memorial Holocaust menguji
kesanggupan bangsa Jerman untuk menghadapi sejarahnya. Secara
mengesankan dibuktikannya bahwa politik ke budayaan nasional telah
menjadi kebutuhan pada abad ke-21. Di lain pihak, federalisme kebudayaan
membangkitkan ambisi negara bagian. Politik kebudayaan memajukan
lingkungan setempat. Contohnya daerah Ruhrgebiet di negara bagian Nord
rhein-Westfalen, yang dahulu dihuni oleh buruh tambang dan buruh pabrik
baja. Sejak bertahun-tahun Ruhrgebiet mengubah wajahnya menjadi daerah
budaya. Sebagai “Ibu Kota Budaya Eropa Ruhr 2010” diperlihatkannya,
bagaimana lingkungan kreatif dapat membuka jalan ke masa depan.
SASTRA
Jerman
negara buku: Dengan hampir 95.000 judul buku baru dan cetakan ulang per
tahun, Jerman termasuk negara besar penghasil buku di dunia. Pekan Raya Buku Internasional Frankfurt yang
diselenggarakan setiap bulan Oktober tetap menjadi ajang pertemuan
terbesar bagi penerbit internasional. Di samping itu Pekan Raya Buku
lebih kecil yang dilaksanakan pada musim semi di Leipzig telah menjadi
tenar sebagai pesta pembaca. Sejak reunifikasi Berlin menempatkan diri
sebagai pusat sastra dan kota penerbit internasional (antara lain
Suhrkamp-Verlag, Aufbau Verlag) yang menghasilkan sastra metropolitan
yang memikat, yaitu sastra yang tidak ada lagi di Jerman sejak
berakhirnya Republik Weimar. Tak ada orang yang dapat memastikan bahwa
buku-buku yang dibeli memang dibaca juga. Akan tetapi kegemaran membaca
memang tidak berkurang, di zaman internet sekalipun. Publik berjubel
untuk menghadiri festival seperti LitCologne di Köln, Poetenfest di
Erlangen dan sejumlah festival lain. Biar begitu hanya sejumlah kecil
pengarang yang karyanya mencapai tiras jutaan eksemplar di pasaran buku
Jerman. Pada dasawarsa pertama abad ke-21, nama pengarang yang meraih
sukses di dunia internasional menempati urutan pertama di daftar
“bestseller”. Termasuk di antaranya Joanne K. Rowling, Dan Brown, Ken
Follet dan Cornelia Funke, penulis buku anak-anak Jerman. Hanya satu dua
di antara buku yang teksnya bernilai sastra berhasil menempati
peringkat utama. Termasuk di antaranya, di samping buku laris karya
Daniel Kehlmann “Die Vermessung der Welt” (Pengukuran Bumi - 2006),
roman karangan Charlotte Roche “Feuchtgebiete” (Daerah Lembap - 2008)
yang menimbulkan diskusi mengenai seksualitas dan citra peran perempuan.
Terungkap oleh diskusi yang ramai itu, bahwa sastra tetap dapat
membahas tema yang relevan bagi masyarakat umum, walaupun sifat temanya
pribadi dan kurang berbau politik.
Sejak
dilembagakannya Deutscher Buchpreis (Hadiah Perbukuan Jerman) untuk
novel terbaik pada tahun 2005, yang mencontohkan Booker Prize di Inggris
atau Prix Goncourt di Perancis, diperoleh sukses juga dalam memasarkan
sastra bermutu di kalangan luas. Selain hadiah uang, pemenang Deutscher
Buchpreis memperoleh juga tiras tinggi untuk karyanya serta perhatian
media. Kisah keluarga karangan Julia Franck “Die Mittagsfrau” (Sang
Perempuan Tengah Hari - 2007), epos mengenai keruntuhan RDJ setebal
hampir seribu halaman tulisan Uwe Tellkamp “Der Turm” (Menara - 2008)
dan roman berciri autobiografi oleh Kathrin Schmidt “Du stirbst nicht”
(Kau Tak Akan Mati – 2009) termuat di daftar buku laris selama
berbulan-bulan. Walaupun beberapa sastrawan terkemuka dari masa
pascaperang masih tetap berkarya, seperti penerima Hadiah Nobel untuk
Sastra Günter Grass, dan juga Martin Walser, Hans Magnus Enzensberger
dan Siegfried Lenz, namun buku baru mereka kurang memberi impuls dari
segi bentuk bahasa. Setelah masa pascaperang dengan karya yang kaya akan
inovasi estetis, dan sastra tahun 1970-an yang ditandai oleh analisis
sosial serta oleh eksperimen kebahasaan dan bentuk, sekitar pergantian
milenium dapat kita lihat gerakan kembali kepada bentuk cerita
tradisional, kepada kisah yang diceritakan dengan kesederhanaan yang
halus (Judith Hermann, Karen Duve). Di samping hasil seni bercerita
muncul karya yang bereksperimen dengan bentuk (Katharina Hacker),
tulisan para penyeberang batasan budaya yang bermain dengan aneka
bentuk sastra (Feridun Zaimoglu, Ilija Trojanow), atau kekuatan ekspresi
yang tidak tersentuh oleh mode apapun dari Herta Müller asal Rumania.
Setelah dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra 2009, karyanya
diperhatikan juga di luar kalangan pencinta sastra.
Pada
waktu yang sama batas yang dahulu ditarik antara sastra tinggi dan buku
fiksi bersifat hiburan semakin kabur. Pada pengarang muda dan setengah
baya jarang ditemukan sikap bercampur tangan dalam urusan politik atau
moral. Namun dalam apa yang kelihatan seperti gerak mundur ke dalam
urusan pribadi justru dibahas tema-tema yang sejak dahulu kala
diutamakan oleh sastra: Bagaimana cara perorangan menghadapi tuntutan
dan tantangan oleh masyarakat? Bagaimana dampak keadaan ekonomi yang
mendominasi dunia bagi individu? Dilihat dari sudut ini, hal pribadi
dalam sastra kontemporer tak terlepas dari urusan politik juga.
TEATER
Di
mancanegara dunia teater Jerman tidak jarang dicap sebagai ribut dan
dilanda narsisme. Akan tetapi di belakangnya terdapat sistem yang sering
dikagumi. Kota madya pun memiliki gedung pertunjukan untuk ketiga jenis
seni panggung (sandiwara, opera, balet) yang menarik dari segi
artistik. Sebagian besar di antaranya tergolong tipe teater repertoar,
berarti daftar pertunjukannya mencakup beberapa karya pentas yang
biasanya dibawakan oleh ansambel tetap. Secara keseluruhan terbentuk
semacam panorama teater, sebuah jaringan rapat yang terdiri dari teater
milik negara bagian dan kota, teater keliling dan teater swasta.
Sumbangan masyarakat Jerman bagi teater cukup besar: bentuknya gagasan,
perhatian dan subsidi. Banyak orang menganggap panggung-panggung sebagai
hal mewah, mengi ngat pendapatan teater dari karcis masuk pada umumnya
hanya mencapai sepuluh atau lima belas persen dari pengeluarannya. Akan
tetapi sistem subsidi telah melewati titik kulminasi dalam
perkembangannya dan sedang berada dalam tahap yang sulit, karena seni
suka diukur dengan prasyarat materinya.
Peter
Stein, tokoh unik dalam teater Jerman, adalah “sutradara kelas dunia”
yang berbeda dari pengarah pementasan lain dengan menciptakan karya yang
dapat dikenali melalui kontinuitas pengulangan motif, tema dan
pengarang. Gaya penyutradaraannya mengutamakan teks. Antara angkatan
seniman yang berteater sekarang dan tokoh seperti Peter Stein, Claus
Peymann, direktur artistik Berliner Ensemble, atau Peter Zadek († 2009)
terbentang jarak yang jauh. Perbendaharaan kata yang dipakai generasi
mereka itu tidak cocok lagi untuk teater kontemporer. Pengertian seperti
mencerahkan, mengajari, menelanjangi atau bercampur tangan berkesan
usang. Penonton pun tak dapat dikagetkan lagi, provokasi di atas
panggung biasanya berlalu tanpa sahutan dan sering tidak lebih daripada
serangan terhadap klise usang yang dilancarkan dengan rutinitas. Teater angkatan
muda tidak lagi mau menjadi “avant-garde”, melainkan mencari bentuk
ekspresi tersendiri. Berkenaan dengan tren ini jumlah pertunjukan
perdana karya dramawan kontemporer meningkat secara tajam sesudah
pergantian abad. Terlepas dari mutunya yang sangat bervariasi,
pementasan tersebut menunjukkan seluruh kebinekaan bentuk seni
pertunjukan; drama tradisional bercampur dengan pantomim, tari, proyeksi
cuplikan film dan musik menjadi paduan yang selalu baru. Tidak
mengherankan kalau pementasan yang gayanya sering terbuka dan bersifat
improvisasi itu umumnya disebut “instalasi dramatis” atau “adaptasi
untuk panggung”.
Frank
Castorf, kepala teater Freie Volksbühne Berlin, yang membiarkan teks
sandiwara diutak-atik dan disusun kembali sesukanya menjadi salah
seorang yang diteladani oleh generasi muda sutradara itu. Nama Christoph
Marthaler dan Christoph Schlingensief juga menandai pandangan baru
mengenai seni panggung dan pencarian kemungkinan ekspresi baru yang
sesuai dengan globalisasi kapitalisme dan kehidupan yang didominasi oleh
media elektronis. Michael Thalheimer diang gap sebagai ahli untuk tema
yang sulit yang mengupas perso alan dengan melihat intinya. Armin
Petras, Martin Kusej atau René Pollesch telah menciptakan bentuk
pementasan yang meng utamakan gaya: cara bercerita tradisional dengan
berpegang pada teks terasa agak asing bagi mereka. Terhadap sikap itu
selalu diutarakan kritik, kritik yang seolah-olah membuktikan bahwa
dunia teater penuh hidup, biarpun tidak sejiwa.
Teater sanggup
bereksistensi terus meskipun ada penghancur karya drama seperti Frank
Castorf, dan pada waktu yang sama dapat disorakinya interpretasi
kesutradaraan teliti yang mengutamakan kesanggupan para aktor.
Kebinekaan yang diperagakan setiap tahun oleh Pertemuan Teater Berlin
dapat ditafsirkan di satu pihak sebagai ungkapan rasa bingung yang
bertambah kuat, namun di lain pihak sebagai tanggapan de ngan beraneka
suara atas persoalan yang muncul dalam realitas masyarakat yang serba
kompleks. Publik yang berperhatian
penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.
penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.
MUSIK
Nama
baik Jerman sebagai negara musik yang penting tetap terkait dengan nama
penggubah seperti Bach, Beethoven, Brahms, Händel dan Richard Strauss.
Mahasiswa datang dari seluruh dunia untuk belajar di perguruan tinggi
musik, pencinta musik mengunjungi festival-festival – dari Festival Wagner di Bayreuth sampai Donaueschinger Musik tage untuk musik kontemporer. Di Jerman terdapat
80 teater musik yang dibiayai oleh dana publik, yang terkemuka di
antaranya gedung opera di Hamburg, Berlin, Dresden dan München serta di
Frankfurt am Main, Stuttgart dan Leipzig. Orkes Fil
harmoni Berlin pimpinan dirigen Inggris terkenal Sir Simon Rattle
dianggap sebagai yang terbaik di antara sekitar 130 orkes di Jerman.
Kelompok “Ensemble Modern” di Frankfurt memajukan produksi musik
kontemporer dengan mementaskan sekitar 70 karya baru per tahun, di
antaranya 20 pagelaran perdana. Di samping dirigen yang dikenal di dunia
internasional seperti Kurt Masur atau Christoph Eschenbach ada pemimpin
orkes yang menonjol di generasi lebih muda, yaitu Ingo Metzmacher dan
Christian Thielemann. Penyanyi dan pemain instrumen yang tergolong
paling baik di dunia adalah Waltraud Meier, soprano, Thomas Quasthoff,
bariton, dan pemain klarinet Sabine Meyer. Pemain biola Anne-Sophie
Mutter tampil di muka publik yang sangat besar dan yang tidak selalu
menikmati musik klasik saja. Violinis inilah yang menjadi bintang Jerman
di dunia musik.
Sejak
pertengahan abad ke-20, perkembangan musik kontemporer di dunia ikut
ditentukan oleh pelopor-pelopor musik elektronis seperti Karlheinz
Stockhausen († 2007) dan antipodenya yang mempertahankan tradisi,
komponis opera Hans Werner Henze. Dewasa ini musik kontemporer memadukan
beberapa gaya: Heiner Goebbels menghubungkan musik dengan teater,
Helmut Lachenmann menelusuri kemungkinan ekspresi instrumen sampai ke
batas ekstrem. Wolfgang Rihm menunjukkan kemungkinan perkembangan ke
arah musik yang lebih mudah dipahami.
Di
sisi lain spektrum musik ada penyanyi pop Herbert Grönemeyer yang tahu
semangat zaman dan suasana hati peng gemarnya. Sejak bertahun-tahun
diraihnya sukses dengan lagu-lagu berbahasa Jerman. Grup musik punkrock
“Die Toten Hosen”, formasi heavy metal “Rammstein” dan grup remaja
“Tokio Hotel” juga tergolong kategori superstar Jerman. Selama beberapa
tahun terakhir ini, seniman seperti penyanyi Xavier Naidoo (“Söhne
Mannheims”) berhasil dengan mengacu pada gaya soul dan rap Amerika
Serikat. Khususnya sebagai pembawa jenis musik ini ditemukan banyak
pemusik muda yang berasal dari keluarga migran dan yang berhasil menjadi
bintang, di antaranya Laith Al-Deen, Bushido, Cassandra Steen dan Adel
Tawil. Sukses grup musik “Wir sind Helden” dari Berlin akhir-akhir ini
menimbulkan gelombang pendirian grup musik Jerman muda. Pendirian
“Akademi Pop” di Mannheim memperlihatkan kemauan politik untuk
meningkatkan daya saing musik pop Jerman.
Dalam
hal klub musik pun Jerman dapat membang gakan banyak lokasi tenar,
terutama di kota besar seperti Berlin, Köln, Frankfurt am Main,
Stuttgart dan Mannheim. De ngan adanya tren disko pada tahun 1970-an,
rap/hiphop tahun 1980-an dan gaya techno tahun 1990-an, para DJ
beremansipasi menjadi seniman nada dan produsen. Melalui teknik
scratching, sampling, remix dan pemakaian komputer, piringan hitam
berubah menjadi bahan baku untuk metamusik yang dapat diubah sesuka
hati. Dua mahabintang klub musik pun datang dari Jerman, yaitu Sven Väth
yang dijuluki “Godfather of Techno” dan Paul van Dyk.
PERFILMAN
Menjelang
pergantian milenium muncul karya ceria yang membangkitkan dunia
perfilman Jerman: “Lola rennt” (Lola Berlari, 1998) karya Tom Tykwer.
Film komedi eksperimental mengenai Lola, si gadis berambut merah,
mengenai nasib, cinta dan hal- hal kebetulan mencerminkan perasaan hidup
di akhir tahun sembilan puluhan. Perjuangan Lola yang nekad berlari
melin tasi Berlin dengan melawan waktu diartikan di seluruh dunia
sebagai kiasan ketergesaan zaman kita. Dengan “Lola rennt”, sutradara
Tom Tykwer mendobrak pintu ke dunia perfilman internasional. Fase
kemajuan untuk film Jerman dimulai. Untuk pertama kali sejak era apa
yang disebut “film pencipta” dan masa berkaryanya tokoh Rainer Werner
Fassbinder († 1982), pengamat di luar negeri kembali memperhatikan film
Jerman yang meraih sukses internasional. Pada tahun 2002, Caroline Link
menerima Hadiah Oscar untuk “Nirgendwo in Afrika”, trofi yang sama
diraih 2007 oleh Florian Henckel von Donnersmarck untuk film perdananya
“Das Leben der Anderen”. Festival Film
Cannes pada tahun yang sama memberikan hadiah untuk skenario terbaik
serta hadiah istimewa kepada Fatih Akin untuk film “Auf der anderen
Seite”.
Pada
awal milenium baru, sineas Jerman meraih sukses yang tak tersangka
dengan film jenis komedi – seperti “Die fetten Jahre sind vorbei” (2004)
karya Hans Weingartner. Sebaliknya, perhatian menjelang akhir dasawarsa
pertama difokuskan pada film yang berbobot. Namun tema-tema tidak
berubah. Film jenis tragikomedi “Good Bye, Lenin!” (2003) diputar dengan
sukses di 70 negara lebih, sebab diperlihatkannya juga kegagalan
sosialisme. Film karya Donnersmarck “Das Leben der Anderen” (2007)
bertemakan kehidupan warga Jerman Timur di bekas RDJ di bawah pengawasan
dinas rahasia Stasi.
Dengan
nada berat yang mencekamkan, Fatih Akin, warga Hamburg bernenek moyang
Turki, menggambarkan kehidupan di Jerman. Dalam drama “Gegen die Wand”
(2004) yang antara lain meraih hadiah Goldener Bär pada Festival Film
Berlin, Akin memaparkan kisah cinta dua insan Jerman-Turki dan
keterombang-ambingan mereka antara dua kebudayaan. Presisi cerita film
itu berkesan menyakitkan, tetapi tidak ce ngeng. Pada tahun 2007, dalam
drama “Auf der anderen Seite” (Di Seberang), digambarkannya kisah enam
orang di Jerman dan di Turki yang nasibnya saling bertautan. Juri Hadiah Film Jerman memberi
empat penghargaan sekaligus untuk karya itu. Dengan “Soul Kitchen”
(2009), Akin mengungkapkan apresiasinya untuk kota Hamburg, kali ini
dalam bentuk komedi.
Film-film
Jerman berhasil, karena ceritanya yang bersifat nasional dan
penggarapan sinematografis dari cerita itu mem bahas tema universal.
Namun materi yang diolah oleh para pembuat film, mereka angkat dari
perkembangan dan perubahan di negara sendiri dan di jalan hidup
masing-masing.
SENI RUPA
Sejak
tahun 1990-an, seni lukis dan fotografi dari Jerman meraih sukses besar
di dunia internasional. Apa yang disebut “keajaiban lukisan baru
Jerman” dikenal di luar negeri sebagai “Young German Artists”. Para
seniman berasal dari Leipzig, Berlin atau Dresden. Neo Rauch adalah
wakil paling tenar dari “Mazhab Leipzig Baru”. Gaya mazhab tersebut
ditandai oleh realisme baru yang berkembang – bebas ideologi – dari
“Mazhab Leipzig” lama, yang termasuk lingkup seni rupa bekas RDJ.
Lukisannya sering memperlihatkan orang-orang pucat yang seolah-olah
menunggu sesuatu yang tak tentu. Motif itu dapat ditafsirkan sebagai
pantulan keadaan di Jerman pada awal milenium baru. Apa yang disebut
“Dresden Pop”, di antaranya Thomas Scheibitz, memetik unsur dari iklan
dan dari estetika video dan televisi sambil bermain dengan estetika
swakaji mengenai sini dan kini. Kebanyakan seniman generasi menengah
menganggap pembahasan kritis mengenai nasionalsosialisme, seperti yang
ditemukan dalam kar ya Hans Haacke, Anselm Kiefer dan Joseph Beuys,
sebagai urusan masa lampau. Sebaliknya yang tampak di kalang an perupa
ialah “kebatinan baru” serta penggarapan bidang-bidang pengalaman yang
saling berbenturan: Karya-karya Jonathan Meese dan André Butzer
mencerminkan depresi dan fenomena-fenomena obsesi; kedua perupa itu
dianggap sebagai wakil “realisme neurotik”. Dengan karyanya “Mental
Maps”, Franz Ackermann menggambarkan dunia sebagai desa global dan
memperlihatkan musibah yang berlangsung di balik layar. Tino Sehgal
menghasil kan karya seni yang eksistensinya terbatas pada waktu
“performance”-nya dan yang tidak boleh direkam; ia mencari bentuk
produksi dan bentuk komunikasi di luar batas ekonomi pasaran.
Besarnya perhatian kepada seni rupa di Jerman tercermin pula dalam pamerandocumenta yang diseleng garakan lima tahun sekali di Kassel sebagai pameran seni rupa aktual yang terkemuka di dunia; documenta 13
akan dibuka pada tanggal 9 Juni 2012. Berbeda dengan seni rupa – yang
arti pentingnya digarisbawahi oleh pendirian sejumlah museum swasta baru
– seni fotografi harus berjuang lama sampai diakui sebagai bentuk seni
yang mandiri. Sebagai pelopor pada tahun 1970-an dikenal Katharina
Sieverding dengan rangkaian potret dirinya yang menelusuri batas antara
individu dan masyarakat. Terobosan terjadi pada tahun 1990-an dengan
sukses yang diraih tiga murid dari Bernd dan Hilla Becher, pasangan
suami istri fotografer: Dalam karya foto mereka, Thomas Struth, Andreas
Gursky dan Thomas Ruff menimbulkan realitas mengilap yang me
nyembunyikan sesuatu. Pengaruh kelompok ini terhadap corak fotografi
internasional begitu besar sehingga mereka dinamakan “Struffsky” saja.